Oleh: Prof Dr dr Ario Djatmiko
DI kota bekasi ada warung sate kambing yang menurut saya enak atau mungkin nostalgia saja… ah nggak penting. Yang jelas, saya dan saudara kembar saya (alm) dulu sering menikmati sate di sana. Beberapa hari lalu saya mendapat pelajaran hidup yang sangat berharga.
Ceritanya begini:
Turun dari bandara CGK, sebelum sampai ke rumah kakak, saya mampir ke warung sate itu. Entah karena kangen satenya atau karena nostalgia. I miss my twin brother.
Tempatnya tidak berubah, sederhana, kursi plastik biru tetap ada di sana, tetapi pelanggan penuh sampai saya harus menunggu untuk dapat kursi.
Saya dan sopir duduk semeja. Seperti biasa, saya yang bersihin sendiri mejanya yang basah (minuman kececer) dengan tisu kering.
Tusukan satenya kecil-kecil. Saya pesan 30 tusuk: 10 tusuk untuk saya, 10 tusuk untuk driver, dan 10 tusuk dibawa pulang.
Saat saya menunggu sate terhidang, datang seorang anak perempuan kecil cantik kira-kira seumur cucu saya (7 tahun). Berkaus merah kecokelatan, dia menjajakan kueh kering.
Dia tersenyum manis, ”Ini harganya 20 ribu, Bapak. Tapi, bungkusannya besar”. Saya lihat. Ya, memang besar, ya murah banget.
Saya tidak berminat, memang saya tidak pernah beli camilan. Tapi, saya selalu memberikan ”angpao” kepada orang-oranag seperti mereka, apalagi anak kecil.
Mengapa? Sungguh saya sangat respek kepada mereka, orang-orang yang berjualan ngider (asongan) seperti itu. Mereka luar biasa hebat, setiap hari berjuang menyabung nyawa untuk besok. ”Apa makan?”
Dia tidak tahu bahwa dia sebenarnya adalah seorang anak yang berhak hidup layak, mendapat pendidikan yang layak, dan bahagia seperti cucu-cucu saya.
Namun, dia harus terus jalan menyusuri terik matahari sepanjang jalan kota untuk menjajakan kue kering yang tampaknya biasa-biasa saja.
Dia tidak tahu, sebenarnya dia anak yang berhak mendapat perlindungan.
Dia tidak tahu bahwa negara tidak hadir dalam kesulitannya.
Dia tidak tahu bahwa negara ini gagal melindungi rakyatnya.
Dia tidak tahu tentang diskusi tingkat tinggi para kaum elitis tentang hal-hal yanga utopia: bonus demografi dan ”Indonesia Emas”.
Yang dia tahu, hanya lapar, lapar, dan lapar....
Saya memanggil anak itu, ”Sini, Nak, ambil ini, Nak. Uang ini untuk kamu. Tapi, saya tidak membeli kuemu.”
Dia menatap mata saya ramah dan tersenyum, ”Saya jualan, Pak, tidak minta-minta. Terima kasih.” Kemudian, dia pergi. Buru-buru dia saya panggil, ”Sini, saya beli, Nak.”
Dia kembali dan saya ambil kuenya. ”Terima kasih, Pak.” Tampaknya ibu sebelah saya melihat episode itu dan dia juga beli. Saya lihat, anak kecil itu mengembalikan uang kembaliannya.
Terima kasih, ya Allah….
Di tengah defisitnya harga diri, kita lihat di sekitar kita akhir-akhir ini, Engkau mengirim sosok mungil ini untuk memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita semua.
Hati saya bertanya-tanya, apa yang terjadi di negeri ini selama 79 tahun merdeka? Teringat pesan Drucker: ”Tidak ada negeri miskin, yang ada hanya negara yang salah urus”.
Makin sedih saya memikirkan nasib anak ini kelak. Apakah anak ini bisa menjadi bagian dari bonus demografi kelak? Atau, hanya akan menjadi beban demografi.
Oh ya, hampir lupa, sate kambingnya memang enak. (*)
*) Prof Dr dr Ario Djatmiko adalah spesialis bedah kanker payudara, pengurus Ikatan Dokter Indonesia dan Yayasan Kanker Indonesia, pendiri Rumah Sakit Onkologi Surabaya, dan pendiri Reach to Recovery Surabaya.
Informasi selengkapnya: https://harian.disway.id/read/834214/gadis-kecil-penjual-kue-itu-ajarkan-arti-harga-diri/15